Tuesday, August 29, 2017

Berhenti Percaya pada 3 Mitos Stres Ini

foto: bertha/GARASIhealth


Jakarta,GARASIhealth - Stres memang tak memandang usia dan jenis kelamin, tapi tak seharusnya Anda percaya begitu saja dengan mitos-mitos seputar stres yang justru dapat membuat Anda semakin tidak karuan. Apa saja mitos tersebut?

Stres adalah respon tubuh yang alami terjadi. Semua orang tidak bisa menghindari kondisi ini, tapi Anda bisa mencegah dan mengelolanya lebih dulu. Seperti dilansir laman GARASIhealth, Selasa (29/8/2017) berikut tiga mitos seputar stres yang harus segera Anda singkirkan.

American Psychological Association (APA) mengatakan, setiap orang memiliki stres yang berbeda. Respons stres bisa emosional, fisik, atau keduanya. Semua orang memiliki reaksi stres yang berbeda dan strategi menghadapinya pun berbeda.

"Anda bisa menceritakan kepada teman atau ada orang yang memilih beryoga untuk mengatasi stres mereka," jelas APA.

Mitos stres



Menurut psikolog Andrew Bernstein, stres bukan selalu datang dari kehidupan sehari-hari. Melainkan berasal dari apa yang Anda pikirkan.


Terlalu memikirkan sesuatu hal secara berlebihan dan tidak mengorganisirnya dapat menyebabkan pikiran yang menumpuk, ditambah dengan reaksi emosi dan situasi. Hal tersebut menyebabkan munculnya stres dalam kehidupan Anda.


Tak jarang individu memilih pergi ke bar atau kelab untuk menenggak satu atau dua gelas alkohol kala stres. Sayang, itu hanya mitos yang membuat stres Anda semakin kacau.

Dalam penelitian Journal of Endocrinology and Metabolism, alkohol justru dapat meningkatkan jumlah hormon stres yang dihasilkan otak. Jadi, urungkan niat jika Anda ingin minum alkohol saat kondisi stres, itu tak akan membantu Anda.

SUMBER: WWW.GARASIGAMING.COM

Monday, August 28, 2017

Hal yang Perlu di Perhatikan Untuk Mengenali Stres Pada Remaja dan Cara Mengatasinya

foto: bertha/GARASIhealth


Jakarta,GARASIhealth - Stres tak hanya melanda kaum dewasa, tapi juga remaja. Pada masa ini, umumnya remaja akan mengalami berbagai gejolak kehidupan yang berdampak pada tekanan psikologis mereka.

Dr Alvin Nursalim dari laman GARASIhealth menjelaskan stres pada remaja bila tak ditangani dengan benar dapat memicu reaksi berkepanjangan. Tak jarang remaja yang mudah stres dapat menghambat aktivitas dan tumbuh kembang mereka.

"Beberapa perubahan perilaku remaja yang mengalami stres perlu diwaspadai. Misalnya, dia tidak mau terlibat dalam kegiatan bersama temannya, lebih cemas dari biasanya dan tidur lebih sedikit atau lebih banyak dari biasanya. Selain itu, mereka mulai mengonsumsi produk berkafein lebih banyak dan berperilaku lebih agresif," tulis Alvin, dikutip dari laman GARASIhealth, Senin (28/8/2017).

Selain perubahan perilaku yang nyata terlihat, remaja dengan gangguan stres juga akan mengalami perubahan emosi seperti lebih cepat marah, mudah merasa sedih, lebih sulit untuk bersantai, dan emosinya fluktuatif.

Di samping itu, menurut Alvin, seseorang yang sedang stres juga akan mengalami perubahan fisik. Seperti merasa lemas, tidak merasa lapar, berat badan menurun, dan sering merasa panik.

 

Adakah cara mengatasi stres sejak dini?



Alvin mengatakan jika remaja merasakan keluhan seperti di atas, ada beberapa langkah yang bisa menolongnya.


Anjurkan mereka untuk membicarakan masalah yang dihadapi pada orang yang dapat dipercaya. Baik itu teman atau orang tua.


Mintalah agar mereka menghilangkan berbagai pikiran yang tidak bermanfaat dan membebani. Ajak untuk berpikir positf dan menghilangkan prasangka.


Sarankan untuk mencatat permasalahan apapun yang mereka hadapi dan anjurkan untuk membuat daftar penyelesaian yang dapat dilakukan.


Ajak untuk melakukan aktivitas fisik seperti olahraga dan aktivitas sosial yang mengalihkan pikiran. Hubungan sosial yang baik dapat mengurangi keadaan stres.

SUMBER: WWW.GARASIGAMING.COM

Sunday, August 27, 2017

Emotional Hunger, Ketika Lapar Muncul Karena Dorongan Psikologis

foto: bertha/GARASIhealth

Jakarta,GARASIhealth - Dalam kondisi normal, rasa lapar umumnya muncul ketika tubuh mulai butuh asupan energi lewat makanan. Hanya saja kadang karena dorongan psikologis seseorang bisa juga merasa lapar meski tubuh tidak membutuhkannya.

Psikolog menyebut hal tersebut sebagai emotional hunger. Apa yang terjadi dijelaskan oleh psikolog klinis Rachel Goldman dari NYU Langone Medical Center adalah otak mencari makanan sebagai alternatif cara untuk merasa lebih baik.

Studi sebelumnya telah melihat bahwa memang ketika mengonsumsi makanan tertentu, bagian otak yang mengatur perasaan puas dan senang dapat menyala aktif. Hanya saja masalahnya kadang kala seseorang jadi lepas kontrol dan terus-terusan makan.

"Kalau kita berbicara soal kebiasaan makan, kita itu seharusnya makan hanya sebagai cara untuk bertahan hidup saja. Kalau kita makan untuk melepas stres atau mencari kenyamanan, ada banyak hal lainnya yang bisa kita lakukan untuk itu," ungkap Rachel seperti dikutip dari GARASIhealth.


Dampaknya seseorang yang sering emotional eating dapat memiliki masalah kesehatan lain seperti obesitas. Nah obesitas ini lalu kemudian juga jadi salah satu sumber tekanan mental sehingga menurut Rachel tidak akan ada habisnya.

"Pikiran, emosi, dan perilaku kita semua berhubungan. Jadi menjadi semacam spiral ke bawah," lanjut Rachel.

Bagaimana cara agar terbebas dari emotional hunger? Menurut Rachel cara termudah adalah dengan mencoba jalan kaki atau menelepon teman. Bila setelah 10 menit rasa lapar hilang maka kemungkinan besar itu adalah emotional hunger.

Cara lain yang bisa dilakukan bila sulit menahan rasa lapar adalah menyediakan alternatif makanan sehat. Bila biasanya mengunyah junk food saat sedang stres, maka siapkan buah atau sayuran sehat sebagai pengganti.

SUMBER: WWW.GARASIGAMING.COM

Berhenti Percaya pada 3 Mitos Stres Ini

foto: bertha/GARASIhealth Jakarta,GARASIhealth - Stres memang tak memandang usia dan jenis kelamin, tapi tak seharusnya Anda percaya...